Studi kepemimpinan islam di madura

BAB I
PENDAAHULUAN

LATAR BELAKANG
Mayoritas masyarakat suku Madura hampir 100 % beragama Islam, bahkan suku Madura yang tinggal di Madura bisa dikatakan 100 % muslim. suku Madura terkenal sangat taat dalam beragama Islam, dimana madura sangat menjunjung agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu sebabnya dengan adanya Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh pulau madura. Pesantren-pesantren begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat Madura karena pesantren tidak sekadar mengajar ilmu agama tetapi juga mempunyai kiprah dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan peduli pada nasib rakyat kecil.
Suku Madura dikenal dengan intonasi bicaranya yang keras dan terdengar kasar. Walaupung begitu mereka juga dikenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja. Selain itu orang Madura dikenal mempunyai kultural sosial sangat baik dan tradisi Islam yang kuat .

RUMAH MASALAH
SEJARAH MASUKNYA ISLAM KE MADURA
KEPEMIMIPINA DALAM KERAJAAN DI MADURA
PRINSIP KEPEMIMPINAN MASYARAKAT ADAT MADURA
KEPEMIMPINAN MASYARAKAT MADURA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

BAB II
PEMBAHASAN

SEJARAH MASUKNYA ISLAM KE MADURA
Proses masuknya islam di Madura adalah kegitan lanjutan dakwah islam nusantara yang sangat massif di antara abad ke-7 hingga abad ke-15 melalui tangan-tangan ikhlas para juru dakwah yang di Jawa dikenal dengan Wali Songo. Persebaran agama Islam  di Madura tersebut tidak hanya melalui dari jalur perdagangan saja, tetapi juga dari peranan para wali yaitu dari Sunan Ampel dan Sunan Giri yang mengutus murid muridnya ke madura. Bahkan Islam  datang ke Madura ini merupakan hasil penyebaran dan pengajaran oleh sunan Giri, serta pedagang pedagang Islam  dari Gujarat yang berlabuh di pelabuhan Kalianget. Untuk sunan Ampel, ternyata dakwahnya sudah berpengaruh luas hingga ke pelosok Madura. Memang, bukti bukti adanya dakwah sunan Ampel di Madura sedikit, akan tetapi menurut cerita ada suatu cerita yaitu kisah Aria Lembu Peteng yang merupakan putra dari Prabu Kertabumi, Raja Majapahit Brawijaya ke V, yang dikirim ke Sampang untuk menjadi Kamituo, karena Aria tersebut tidak mau tetapi ia harus menjalankan perintahnya dari ayahnya. Maka,  ia pun berangkat ke Ampel Delta secara terpaksa untuk belajar Islam  dan menjadi Muslim kepada Sunan Ampel dan akhirnya meninggal di Ampel.
Jalur kerajaan melalui  para pemimpin dan bangsawan kerajaan. Karena raja-rajanya Islam, sehingga keturunan dan penduduknya juga memeluk agama islam. Ada beberapa pendapat tentang hal ini. Di bagian timur Madura, yaitu Sumenep menyebutkan Islam sudah masuk ke Sumenep sejak Panembahan  Joharsari, penguasa Sumenep dari tahun 1319 hingga 1331 Masehi. Panembahan Joharsari mempunyai putra bernama Raden Piturut yang bergelar Panembahan Mandaraka yang juga diyakini beragama Islam. Bukti keislamannya adalah makamnya sudah berbentuk Islam yang terletak di desa Mandaraga, Keles, Ambunten. Panembahan Mandaraka yang berkuasa sampai 1339 M mempunyai dua putra yaitu Pangeran Natapraja bertahta di Bukabu dari thn 1339-1348 M dan Pangeran Nataningrat yang menggantikan kakaknya dengan karaton Baragung, Guluk-Guluk. Pangeran Nataningrat berputra Agung Rawit yang bergelar Pangeran Sekadiningrat I yang memerintah thn 1358-1366 M dengan keraton di Banasare. Kemudian ia diganti oleh putranya yaitu Temenggung Gajah Pramada yang bergelar Sekadiningrat II yang memerintah thn 1366-1386 M. setelah itu ia diganti oleh cucunya yang bernama Jokotole atau Aria Kudapanole yang bergelar Sekadiningrat. Sementara itu, teori kerajaan lainnya adalah di Madura bagian Barat. Menurut beberapa sumber, Prabu Brawijaya ke V, yakni Prabu Kertabumi, yaitu Raja Majapahit yang memerintah antara tahun 1468–1478 M telah memeluk Islam. Dari permaisurinya yang bernama Ratu Dworowati dikarunia putra bernama Raden Ario Lembu Petteng. Ario Lembu Petteng kemudian menjadi Kamituo di Madegan Sampang. Kisah Madura bagian Barat ini bermula dari kisah mereka berdua. Mereka masih setia dengan agama primitifnya, yaitu Hindu. Sebagai bukti, di sana terdapat puing-puing candi yang gagal dibangun. Orang menyebutnya Candi Burung (“burung” dalam bahasa Madura bermakna gagal)
Di Pamekasan, Raja yang tercatat sebagai penganut Islam pertama adalah Panembahan Ronggosukowati. Menurut catatan sejarah pamekasan, di masa muda Ronggosukowati pernah belajar kepada Sunan Giri atau Raden Paku. Oleh karena itu, bisa dipastikan Ronggosukowati muda ini sudah Muslim. Dialah yang kemudian menggantikan Bapaknya, yaitu Panembahan Bonorogo, karena usia yang sudah lanjut. Namun, kepulangan Ronggosukowati ke Pamekasan tidaklah sendirian. Konon Sunan Giri menyertakan muballigh bersamanya untuk menyiarkan Islam di Pamekasan yang bernama Sayyid Muhammad bin Abdurrahman bil Faqih. Bersama muballigh itulah Ronggosukowati mengislamkan Pamekasan. pada periode awal, memang Madura berada di bawah kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Jawa. Itu diperkirakan antara abad ke 10-15. Di antara masa-masa ini aroma dakwah Islam sudah masuk ke Jawa yang mengakibatkan beberapa orang masuk Islam, utamanya daerah-daerah pesisir pantai utara jawa. Akibatnya, Madura juga menjadi bagian terpenting dari proses Islamisasi ini melalui islamnya kalangan bangsawan di kala itu. Sehingga, sekitar abad ke 16 dan seterusnya, semua kerajaan dan begitu juga masyarakatnya sudah Islam, utamanya setelah penguasaan Mataram atas kerajaan-kerajaan Madura antara abad ke 16-17.
KEPEMIMPINAN DALAM KERAJAAN DI MADURA
Kerajaan Madura. Sebelum abad ke 18, Madura terdiri dari kerajaan-kerajaan yang saling bersaingan, akan tetapi sering pula bersatu dengan melaksanakan politik perkawinan. Di antaranya kerajaan-kerajaan tersebut adalah Arosbaya, Blega, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Di samping itu kerajaan-kerajaan di Madura berada dibawah supermasi dari kerajaan yang lebih besar yang kekuasaannya berpusat di Jawa. Raden Segoro putra Bendoro Gung dianggap sebagi penghuni pertama di pulau Madura. Dan diceritakan pula bahwa Raden Segoro adalah cucu dari raja Gilingwesi. Menurut sultan Abdurrahman, sebelum kerajaan Majapahit berdiri, di Madura Timur (Sumenep) sudah ada pusat pemerintahan di daerah Purwareja atau Mandagara. (ambunten sumenep). Sedangkan pemerintahannya pada waktu itu bernama Pangeran Rato. Karena pusat pemerintahan tersebut ada di daerah Mandagara, (1333-1339 M). adapun Raja-raja di kerajaan Madura antara lain :
Pemerintah Kerajaan Pertama. Arya Wiraja dilantik sebagai Adipati pertama Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269, yang sekaligus bertepatan dengan hari jadi Sumenep. Pengangkatan tersebut dilakukan oleh Prabu Kartanegara raja Singosari pata tahun 1269 M.Selama dipimpin oleh Arya Wiraja, banyak kemajuan yang dialami kerajaan Sumenep.
Arya Bangah atau Arya Wiraraja II Arya Wiraraja II (Aria bangah) memerintah di Sumenep antara tahun 1292- 1301 M. ia dikaruniai putra bernama Aria Lembu Suranggana Danurwenda. Ketika usianya semakin tua dan tidak mampu lagi untuk memimpin Sumenep, maka Arya Wiraraja II memberikan tahta pemerintahan Sumenep pada putranga Arya Lembu Suranggana Danurwenda.
Arya Lembu Suranggana Danurwenda tahun 1301-1311 M.  masa kepemimpinannya di bilamg berkembang di masyarakat Sumenep, kerapan sapi yang ada di pulau Madura  berawal pada zaman pemerintahan Arya Lembu Suranggana Danurwenda. Sehingga sampai sekarang tradisi kebudayaan kerapan sapi di pulau Madura, menjadi kegiatan tahunan yang tetap dilestarikan.
Arya Arispati. Arya Arispati memerintah antara tahun 1311-1319 M. Tidak begitu banyak perkembangan yang dicapai pada pemerintahan Arya Arispati dibandingkan pada jaman pemerintahan orang tuanya menggantikan orang tuanya memimpin Sumenep tahun 1319 M.
Pangeran Joharsari Sejak pemerintahan pangeran Joharsari, agama islam diperkirakan mulai masuk dan berkembang di Sumenep. Menurut keterangan para ahli pengamat sejarah, bahwa pada sekitar tahun 1330-an, yaitu pada awal pemerintahan pangeran Joharsari, telah datang seorang muballig Islam ke Sumenep. Menurut cerita Babad Sumenep, muballig Islam tersebut dengan nama Rato Pandita. Sedangkan menurut sejarah Wali Songo. Pada pemerintahan pangeran Joharsari yang memerintah Sumenep antara tahun 1319-1331 M,
Raden Pitutut Raden Pitutut sewaktu memimpin Sumenep memindahkan keraton Sumenep yang semula ada di Aeng Nyeor, Pitutut memerintah di Sumenep pada tahun 1331-1339 M. berpulangnya R. Pitutut ke Rahmatullah, maka kemudian di tunjuklah Raden Notoprojo Raden Notoprojo memerintah Sumenep antara tahun 1339-1348 M.18 Pada waktu R. Notoprojo menjabat sebagai raja Sumenep, ada pemindahan keraton kembali yang semula ada di Mandagara, di pindahkan ke daerah Bukabu yang juga termasuk kecamatan Ambunten. Sehingga akhirnya R. Notoprojo pada akhirnya, dikenal dengan sebutan Pangeran Bukabu. Sepuluh tahun R. Notoprojo memerintah Sumenep. Kemudian Raden Notoningrat di tunjuk menggantikan raden notoprojo (1348-1358 M). Bramakanda atau Pangeran Secodiningrat I Antara tahun 1358-1366 M. Sementara itu pada jaman pemerintahan pangeran Secodiningrat I, keraton yang semula ada di Baragung dipindahkan ke daerah Banasare yang termasuk kecamatan Rubaru. 
Raden Agung Rawit atau Pangeran Secodiningrat II  R. Agung Rawit memerintah Sumenep antara tahun 1366-1386 M Dua puluh tahun sudah R. Agung Rawit memerintah di Sumenep, dan untuk seterusnya setelah usianya telah tua, maka pemerintahan beralih kepada Panembahan Blingi yang berkeraton di daerah Blingi Podai (Sepudi).  Setelah tidak mampu lagi untuk menjalankan roda pemerintahan Sumenep, maka sebagai penggantinnya adalah Adipodai (penembahan wirakrama) Adipodai memindahkan pusat pemerintahan yang semula ada di Blingi Podai, dipindahkan ke daerah Nyamplong Podai. Masa kempemimpinannya berlangsung antara tahun 1399-1415 M.23 kemudian dilanjutkan oleh Pangeran Jokotole. Jokotole menjadi raja Sumenep antara tahun 1415-1460 M.  Raden Aria Wigananda menjadi penguasa di Sumenep pada tahun 1460- 1502 M. Aria Wirabaya Pemerintahan Aria Wirabaya berlangsung antara tahun 1502-1559 M. R. Aria Kanduruan Masa berlangsungnya R. Aria Kanduruan antara tahun 1559-1562 M.  kemudian dilanjutkan  Pangeran Lor I atau R. Banten dan Pangeran Wetan I Pangeran Lor I atau R. Banten memerintah Sumenep antara tahun 1562-1567 M. Ia tidak menikah sampai akhir hayatnya, dan lebih banyak melakukan ibadah kepada Allah SWT. Sedangkan Pangeran wetan memiliki dua istri. Dengan kekompakan dan kerjasama Meskipun kerajaan Sumenep dipimpin oleh dua orang, rakyat pada kala itu  terasa aman, tentram dan sentosa.
R. Keddu’ atau Pangeran Wetan II memerintah antara tahun 1567-1574 M. kemudian R. Abdullah atau Pangeran Cokronegoro I tahun 1589-1626 M. R. Mas Pangeran Anggadipa. tahun 1626-1644 M. R. Jaingpati tahun 1644-1648 M. kehadiran R. Jaingpati tidak dapat di terima rakyat Sumenep. Semua kebijakan pada semua sistem pemerintahan tidak dapat melakukan perubahan di berbagai bidang. Perekonomian, pendidikan, budaya dan keagamaan semuanya semakin memburuk.
R. Bugan atau Pangeran Yudonegoro pada tahun 1648-1672 M. dilanjutkan  P. Panji Polang Jiwo dan P. Wirosari 1672-1678 M, kemudian Pangeran Romo atau Pangeran Cokronegoro II. antara tahun 1678-1709 M. Pangeran Romo berhasil mempersatukan kembali kepemimpinan pemerintahan sumenep secara utuh. sekitar tahun 1695 M, Pangeran Romo membangun pesantren di asta tinggi. Raden Tumenggung Wiromenggolo tahun 1709-1721 M. Raden Ahmad atau Pangeran Jimat. Pada tahun1721-1744 M. Raden Alsa atau Pangeran Lolos pada tahun 1744-1749 M. K. Lesap. tahun 1749-1750 M. K. Lesap diberi kekuasaan atas beberapa desa. Namun karena tidak merasa puas, ia melarikan diri kepegunungan di wilayah Sumenep (Gunung Payudan).  R. Ayu Dewi RasmanaTironegoro dan R. Bendara Moh. Saud Raden Ayu Tirtonegoro merupakan satu-satunya pemimpin wanita dalam sejarah kerajaan Sumenep sebagai Kepala Pemerintahan yang ke 30. Dan bindara Saod memerintah di Sumenep antara tahun 1750-1762 M.  selanjutnya di gantikan oleh Panembahan Notokusumo Asiruddin. 1750-1811 M, Sultan Abdurrahman tahun 1811-1854. M. Panembahan Moh. Saleh tahun 1854-1879 M.
Pangeran Pakunataningrat Pada tahun 1879-1884 M R. Pratamingkusumo Pada waktu R. Tumenggung Pratamingkusumo memerintah antara tahun 1901-1926 M, ia membangun sebuah menara di Masjid Jamik Sumenep. Juga ia melaksanakan pembangunan jalan (rel) kereta api tahun 1897-1901 M. Jaringan komunikasi banyak mengalami perubahan, dengan adanya jalan kereta api. Dan untuk menunjang sarana transportasi, memperlancar jalannya perekonomian rakyat, maka diadakan juga tranportasi kapal laut dari Kalianget menuju Panarukan (Situbondo). Banyak pula pemuda madura yang bergabung ke dalam gerakan nasional “Yong Islamietan Bond” (Persatuan Pemuda Islam). Gerakan politik Yong Islamietan Bold dan Serikat Islam yang berdasarkan keagamaan di Madura ini memang cepat mendapat dukungan dan pengikut yang luas oleh orang Madura.  Dua tahun sesudah berdiri, Serikat Islam berhasil menanamkan pengaruhya di kalangan orang Madura. Pusat perwakilan partai politik ini terbentuk di Sampang (1911), Sepudi (1913), Bangkalan (1914), Sumenep (1914), Pamekasan (1914), dan perenduan (1916). Hampir seluruh pengurus cabangnya memiliki gelar kebangsawanan sedangkan sisanya merupakan kiyai dan Haji. Dipakainya Islam sebagai landasannya nmenyebabkan partai ini mampu ikut menanamkan rasa nasionalisme dikalangan anggotanya.


PRINSIP KEPEMIMPINAN MASYARAKT MADURA
mayoritas penduduk Madura memeluk islam, sehingga kemudian tidak heran jika masyarakat Madura menempatkan tokoh agama (kiai) pada posisi yang sangat penting dan sentral di tengah masyarakat. Bahkan, bagi masyarakat Madura, kiai dipandang tidak hanya sebagai subyek yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga sebagai subyek yang mempunyai kekuatan linuwih. Dan ada juga, yang dimintai mantra atau jimat dalam segala urusan dan tempat belajar ilmu kanuragan. Selain menjadi subjek mengajarkan ilmu agama, kiai juga melakukan islamisasi. Beragam media kultural mereka ciptakan untuk membangun kesadaran keagamaan umat, misalnya, membangun langgar, pondok pesantren, dan sekolah agama. Di sini awalnya kiai melakukan transfer pengetahuan keagamaan, tetapi pada ujungnya menjadikan dirinya sebagai kekuatan hegemoni dalam mengonstruk bangunan kognitif dan tindakan sosial masyarakat.
Pemimpin kegamaan di Madura terdiri dari tiga kelompok, yaitu; kyai, santri dan haji. Murid yang menuntut ilmu disebut santri, guru agama yang mengajari santri disebut kyai, dan mereka yang kembali dari menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan Madinah disebut haji. Ketiga kelompok tersebut berperan sebagai pemimpin keagamaan di Masjid, Musholla, acara ritual keagamaan dan acara seremonial lain, dimana mereka berperan sebagai pemimpinnya. Diantara ketiganya, kyai merupakan tokoh yang paling berpengaruh. Kiai mempunyai beberapa peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat, antaralain yakni sebagai pemuka agama, pelayan sosial dan politik. Sebagai pemuka agama kiai bertindak sebagai pemimpin ibadah (sholat, doa, zakat, puasa), dan pemberi fatwa keagamaan.Sebagai pelayan sosial ia dijadikan sebagai makelar budaya, juga sebagai tempat bertanyapengikutnya untuk meminta nasihat, minta penyembuhan dan sebagai orang yang dituakan.Dalam politik, ia akan memainkan peran yang terkait kepentingan umum ke berbagai saluranpolitik baik secara langsung maupun tidak langsung.Figur seorang Kyai diperoleh melalui keturunan (genealogis) yang belum tentumasyarakat madura dapat memperolehnya. Generasi selanjutnya dari sebuah keluarga ulamaakan menerima tanggung jawab dan beban tugas untuk melanjutkan peranan dan pekerjaanorang tua. Seperti yang dikatakan Abdurrahman Wahid . Kedudukan Kyai bagi masyarakat Madura merupakan sebuah sentral dalam panutanbukan hanya dalam aspek keagamaan, tetapi meliputi berbagai aspek terkait kehidupan sosiallainnya. Menurut Geertz, Kyai berperan sebagai alat penyaring atas arus informasi yang masukke lingkungan kaum santri, menularkan apa yang dianggap berguna dan membuang apa yangdianggap merusak bagi mereka. Namun peranan penyaring itu akan macet, manakala arusinformasi yang masuk begitu deras dan tidak mungkin lagi disaring oleh sang Kyai. Dalam tatanan pola kehidupan di pondok pesantren Kyai merupakan sosok pemegang kekuasaantertinggi dalam hal penasehat, pengasuhan dan kepengurusan. Hal tersebut mengimplementasikan pada kehidupan masyarakat di luar ruang lingkup pondok pesantren.Ketika masyarakat madura mengalami situasi – situasi tertentu dalam urusannya diluar aspek keagamaan, maka Kyai ataupun Ghuru menjadi tujuan untuk berkonsultasi dalam menemukansolusi. 
Bagi orang Madura, elemen masyarakat yang menjadi elite utama adalah kyai. Pengaruh kyai melampaui batas pengaruh institusi-institusi kepemimpinan lainnya. Pengaruh kyai cukup beragam tergantung pada asal usul genealogis (keturunan), kedalaman ilmu agama yang dimiliki, kepribadian, kesetiaan menyantuni umat, dan faktor pendukung lainnya.Luasnya pengaruh kyai dalam masyarakat Madura dapat dilacak dari aspek sejarah islamisasiMadura dan aspek ekologis. Figur seorang Ghuru atau Kyai menjadi sebuah elemen yangterkandung dalam prinsip bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato tentunya akan menjadi elemen pengusung terwujudnya prinsip tersebut, karena jika salah satu elemen tidak diwujudkan dalamhal ini elemen Ghurumaka akan terjadi kepincangan prinsip.
Selain peran kiai sebagai elite sosial yang memiliki pengaruh besar di masyarakat Madura, elite sosial lainnya dalam sebutan bahasa maduranya adalah orang Blater. Blater adalah orang yang memiliki kepandaian dalam hal olah kanuragan, terkadang disertai pula denga ilmu kekebalan dan kemampuan magis yang menambah daya karismatiknya. Ia juga memiliki kemampuan dalam ilmu agama, tetapi sebatas untuk pengembangan dirinya semata, yang menonjol justru peran sosialnya sebagai sosok orang kuat di desa. Apresiasi masyarakat Madura terhadap sosok blater seringkali memunculkan sikap kemenduaaan. Di satu sisi, blater dicitrakan sebagai sosok yang memberi perlindungan keselamatan scara fisik bagi masyarakat. Blater di persepsikan memiliki perangai yang halus, sopan, dan menghargai orang lain.
Meskipun demikian kenyataan dilapangan seringkali menunjukan bahwasana ketika sebutan blater ini sudah merujuk pad sosok yang kongkrit atau individu tertentu, seringkali tidak mengalami perbedaan. Bahkan dapat dikatakan blater yang memiliki jiwa sosial, sebagai pelindung di dalam masyarakatnya, hanyalah konsepsi ideal yang seringkali sulit diketemukan dalam kenyataan, karna prinsip yang selalu dijadikan pegangan oleh para blater  “ ango’ poteah tolang etembheng poteah mata”  artinya lebih baik mati putih tulang dari pada putih mata, artinya makna sederhanya adalah lebih baik mati dari pada malu.
KEPEMIMPINAN MASYARAKAT MADURA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Penghormatan yang utama adalah kepada Bapak dan Ibu pada khususnya, dan orang tua atau senior pada umumnya. Penghormatan kedua diberikan kepada ulama atau tokoh. Dan ketiga, kepada pemerintah atau birokrat yang memimpinnya. Karena ajaran dan budaya tersebut sangat dalam pengertiannya. Makna ungkapan itu adalah kepatuhan dan rasa hormat orang Madura secara terhadap figur-figur utama. Orang Madura pertama-tama harus patuh dan taat pada kedua orang tuanya. Kemudian pada guru (bisa juga ulama dan tokoh). Dan terakhir, pada rato (pemimpin formal atau biasa disebut birokrasi). Artinya, dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat standard referensi kepatuhan pada figur-figur utama tersebut.
Sebagai aturan normatif yang mengikat setiap orang Madura, maka pelanggaran atau paling tidak, jika melalaikan aturan itu, akan memperoleh sanksi sosial sekaligus budaya. Tentu saja, pemaknaan sebatas itu tidaklah sepenuhnya salah mereka. Jika menyimak falsafah Bhuppa’ Bhâbhu’ Ghuru Rato tersebut secara mendalam, sebenarnya ajaran dan budaya itu tidak lepas dari saripati pelajaran agama (Islam) yang dianut oleh orang Madura. Patuh kepada Bapak-Ibu jelas ada dalam Islam. Begitu pula guru atau ulama dan tokoh. Seperti halnya ulama, seorang guru di Madura tidak jarang juga dipanggil dengan sebutan ustadz, terutama di pondok-pondok pesantren atau di sekolah Islam seperti madrasah dan sekolah Islam lainnya.
Ati’ullaha wa ati’ur rasula wa ulil amri minkum. Makna kalimat ini adalah: “Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu” (Surat An-Nissa ayat 59).
Ini ajaran Islam yang jelas dan saling berkaitan, tidak bisa dipisahkan. Ulil amri bisa diartikan sebagai umaro atau pemimpin diantara kamu. Dalam konteks orang Madura bisa juga diartikan sebagai rato atau raja (pemerintah). Jika dalam konteks Indonesia tentu saja, pemimpin yang dipilih diantara “orang Madura”.Bhuppa’ Bhâbhu’ Ghuru Rato itu satu kesatuan kepatuhan. Dan, itu adalah ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Kita tahu agama dari orang tua, guru atau ulama, dan pemimpin kita (ulil amri minkum). Itulah Islam. Ulil amri itu jangan diartikan pemimpin pemerintahan saja tetapi orang tua, guru atau ulama juga bisa disebut sebagai pemimpin. Taat kepada pemimpin di sini adalah dalam hal kebaikan dan kebaikan adalah wujud dari iman kita itu sendiri. Mayoritas Orang Madura percaya jika orang tua memiliki keberkahan tersendiri. Mematuhi orang tua berarti mematuhi perintah Allah SWT, sedangkan menentang orang tua berarti menentang perintah Allah SWT yang dapat mendatangkan bencana dalam kehidupannya. Demikian juga dengan Guru atau Kyai. Orang Madura menghormati seorang Guru atau Kyai karena tingkat kesholehan dan ketinggian ilmunya. Sebagian besar orang-orang tua di Madura yang tidak bersentuhan secara langsung dengan dunia pendidikan sering meminta saran atau pendapat dari para Kyai atau Guru yang dianggap mumpuni tentang masalah yang sedang dihadapinya.
Sedangkan Rato (pemimpin atau pemerintah) merupakan representasi atau wakil Allah SWT dalam mengelola bumi dan isinya. Secara informal para pemimpin di Madura sebenarnya sudah dipegang oleh para Guru atau Kyai yang sangat di hormati. Tidak heran jika kemudian orang Madura mendapuk seorang Kyai atau Guru yang mumpuni secara keilmuan untuk menjadi guru spiritual sekaligus sebagai pemimpin pemerintahan. Demikianlah tata krama orang Madura dalam menghormati Bappa’-Bhabhu’-Guru-Rato.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sejarah masuknya islam di pulau Madura dapat Tarik kesimpulan bahwa islam masuk ke Madura karena factor perdagangan dan kerajaan. Ada yang mengatakan bahwa islam masuk k Madura mulai dari raja panembahan Joharsari. Terlepas dari itu masuknya islam ke Madura dari jalur perdagangan saja, tetapi juga dari peranan para wali yaitu dari Sunan Ampel dan Sunan Giri yang mengutus murid muridnya ke madura. Bahkan Islam  datang ke Madura ini merupakan hasil penyebaran dan pengajaran oleh sunan Giri, terbukti dengan Panembahan Ronggosukowati. Menurut catatan sejarah, di waktu masa mudanya Ronggosukowati pernah belajar kepada Sunan Giri atau Raden Paku. Sunan Ampel dan Sunan Giri pernah mengutus murid muridnya ke madura.
Begitupunterkait tentang sosok pemimpin di Madura, Kyai bagi masyarakat Madura merupakan sebuah sentral dalam panutanbukan hanya dalam aspek keagamaan, tetapi meliputi berbagai aspek terkait kehidupan sosial lainnya. Ketika masyarakat madura mengalami situasi – situasi tertentu dalam urusannya diluar aspek keagamaan, maka Kyai ataupun Ghuru menjadi tujuan untuk berkonsultasi dalam menemukansolusi. Maka hal yang sangat wajar jika pengaruh kiyai melampaui batas pengaruh institusi-institusi kepemimpinan lainnya. Karena dalam prinsip bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato tentunya akan menjadi elemen pengusung terwujudnya prinsip tersebut, di Madura sebenarnya sudah dipegang oleh para Guru

Comments

Popular posts from this blog

Asbabul Wurud dalam Perspektif Ilmu Hadis