Asbabul Wurud dalam Perspektif Ilmu Hadis

link download file materi

Pendahuluan
Diantara beberapa hal yang sangat penting dalam mempelajari Hadits ialah mengetahui sebab-sebab lahirnya Hadits. Karena pengetahuan tentang hal itu dapat menolong memahamkan ma’na Hadits secara sempurna, sebagaimana halnya pengetahuan tentang asbabun-Nuzul, dapat menolong untuk memahamkan ma’na ayat-ayat Al-Qur’an. Ibnu Taimiyah berkata : “Mengetahui sebab itu, menolong dalam memahamkan al-Hadits dan ayat. Sebab mengetahui sebab itu dapat mengetahui musabbab (akibat).
Kemudian yang disebut dengan Ilmu Asbabi Wurud’il-Hadits atau sababu’l Atsar, ini merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang menerangkan tentang sebab lahirnya Hadits. Ada sebagian ‘Ulama yang berpendapat bahwa sebab-sebab, latar belakang dan sejarah dikeluarkan hadits ini sudah tercakup dalam pembahasan ilmu Tarikh, maka dari itu tidak perlu dijadikan suatu ilmu yang berdiri sendiri, akan tetapi karena ilmu ini mempunyai sifat-sifat yang khusus,yang tidak seluruhnya tercakup dalam ilmu Tarikh dan mempunyai faidah yang besar sekali dalam lapangan Ilmu Hadits, maka kebanyakan Muhadditsin menjadikan ilmu ini suatu ilmu pengetahuan tersendiri, sebagai cabang ilmu Hadits dari jurusan matan.[1]
Ketika kita mencoba utuk memahami suatu hadis,tidak cukup hanya melihat teks hadisnya saja, khususnya ketika hadis itu mempunyai asbabul wurud, melainkan kita harus melihat konteksnya. Dengan lain ungkapan,ketika kita ingin untuk menggali pesan moral dari suatu hadis, perlu memperhatikan konteks historitasnnya,tanpa itu seseorang akan mengalami kesulitan dalam mengungkap dan memahami makna suatu hadis, maka dari itulah mengapa asbabul wurud menjadi sangat penting dalam diskursus ilmu hadis.[2]
Karena itulah didalam pembahasan ini kita mencoba untuk membahas persoalan mengenai asbabul wurud. Apa makna dan pengertian asbabul wurud?, bagaimana signifikansinya dan relevansinya dalam studi hadis?



Pembahasan
A.    Pengertian Asbabul Wurud
Secara etimologis, “asbabul wurud “ merupakan susunan  idhofah (kata majemuk) yang berasal dari kata asbab dan al-wurud. Kata “asbab” adalah bentuk jamak dari kata “sabab”, yang berarti segala sesuatu yang dapat mengubungkan kepada sesuatu yang lain. Atau penyebab terjadinya sesuatu. Sedangkan kata “wurud” merupakan bentuk isim masdhar (kata benda abstrak ) dari warada,yaridu.wurudan  yang berarti datang atau sampai.
Dengan demikian, secara sederhana dapat diartikan bahwa asbabul wurud adalah sebab-sebab datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam dikursus ilmu hadis, maka asbabul wurud  biasa diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang (background) munculnya suatu hadis.
Menurut suyuthi, secara terminologi asbabul wurud diartikan sebagai berikut:
أنه ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم أو إطلاق او تقييد أونسخ أو نحوذلك.
Sesuatu yang menjadi thariq (metode) untuk menentukan maksud suatu hadis yang bersifat umum, atau khusus ,Mutlaq atau muqayyad, dan untuk menentukan ada tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu hadis.”
Jika dilihat secara kritis,sebenarnya definisi yang dikemukakan as-Suyuthi lebih mengacu kepada fungsi asbabul wurud al-hadis, yakni untuk menentukan takhsis (penghususan) dari yang ‘am(khusus),membatasi yang Mutlaq,serta untuk menentukan ada tidaknya naskh Mansukh  dalam hadis dan lain sebagainya.
Menurut Hasbi ash-Shiddiqie, beliau mendefinisikan asbabul wurud sebagai berikut:
علم يعرف به السبب الذى ورد لا جله الحديث والزمان الذى جاءبه.
“ Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW.  menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi SAW. menuturkannya.”



Adapula ulama yang memberikan defisi asbabul wurud, agak mirip dengan pengertian asbabun  nuzul, yaitu:
ماورد الحديث أيام وقوعه.
Sesuatu (baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan ) yang terjadi pada waktu hadis itu disampaikan oleh Nabi SAW.”
Dari ketiga definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa asbabul wurud  adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat hadis itu disampaikan oleh Nabi SAW. Ia dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentuka apakah hadis itu bersifat umeum atau khusus, Mutlaq muqayyad,naskh atau Mansukh dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dalam perspektif ini mengetahui asbabul wurud bukanlah tujuan (ghayah) melainkan hanya sebagai sarana (wasilah) untuk memperoleh ketepatan makna dalam memahami pesan moral suatu hadis.[3]
Kemudian perintis Ilmu Asbabi wurudi’l hadits ialah Abu Hamid bin KaznahAl-Jubary. Kemudian disusul oleh Abu Hafsh ‘Umaru bin Muhammad bin Raja Al-Ukbary, salah seorang guru Abu Ya’la bin Al-Fara’ Al-Hanbaly dan seorang guru  murid dari ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal. Beliau meninggal pada tahun 339 H.
Ibrahim bin Muhammad, yang terkenal dengan nama kunyah Ibnu Hamzah al-Husainy , mengarang pula kitab asbabi wurudi’l-Hadis, dengan diberi nama Al-Bayan wa’t-Ta’rif Asbabi wurudi’l-Hadits-Syarif, yang telah dicetak pada tahun 1329 H. Beliau sendiri meninggal pada tahun 1120 H.[4]
B.     Macam-macam Asbabul Wurud
Menurut imam as-Suyuthi, asbabul wurud dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu:
1.      Sebab yang berupa ayat al-Qur’an.
Artinya ayat al-Qur’an itu menjadi penyebab Nabi SAW mengeluarkan sabdanya. Contohnya ,firman Allah Q.S Al-An’am: 82
الذين أمنوا ولم يلبسوا إميمانهم بظلم أو لئك لهم الامن وهم مهتدون.
“Orang-orang yang beriman, dan mereka tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman, mereka  itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Ketika itu sebagian sahabat memahami kata “azh-zhulmu” dengan pengertian al-jaur yang berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan.Nabi SAW kemudian memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud azh-zhukmu  dalam firman tersebut adalah asy-syirku yakni perbuatan syirik,sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Luqman ayat 13:
إن الشرك لظلم عظيم
            “sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar.”
2.      Sebab yang berupa hadis
Artinya pada waktu itu terdapat hadis, namun sebagian besar sahabat merasa kesulitan dalam memahamimya, maka kemudian muncul hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap hadis tersebut.
Contoh:
إن الله تعلى ملا ئكت فى الارض ينطق على ألسنة بن أدم بما فى المرء من جير أوشر.
“sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi,yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.” (HR.Hakim)
Dalam memahami hadis tersebut, ternyata para sahabat merasa kesulitan, maka dari itu mereka bertenya: Ya rasul!,bagaimana hal itu dapat terjadi? Maka Nabi SAW menjelaskan lewat sabdanya yang kain sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah. Para sahabat memberikan pujian terhadap jenazah terseut seraya berkata ‘jenazah itu baik”. Mendengar pujian tersebut maka Nabi berkata: “wajabat” (pasti masuk surga) tiga kali. Kemudian Nabi SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain. Ternyata para sahabat mencelannya, seraya berkata : Dia itu orang jahat”. Mendengar penyataan tersebut, maka Nabi berkata “wajabat” (pasti masuk neraka).
Ketika mendengar komentar Nabi demikian, maka para sahabat bertanya: Ya rasul!, mengapa terhadap jenazah pertama engkau memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua tuan ikut mencelanya. Engkau katakana kepada kedua jenazah tersebut : wajabat”  sampai tiga kali. Kemudian Nabi menjawab : Ya benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai Abu Bakar sesungguhnya Allah SWT  memiliki para malaikat di bumi. Melalui mulut merekalah, malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan keburukan seseorang. (HR al-Hakim dan al-Baihaqi)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat Allah di bumi yang menceritakan tentang kebaikan dan keburukan seseorang adalah pada sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik dan jenazah itu jahat.
3.      Sebab yang berupa perkara yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat
Sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid bin Suwaid ats-Tsaqafi. Pada waktu Fath Makkah (pembukaan kota Makkah ) neliau pernah datang kepada Nabi SAW, seraya berkaa : “ saya bernazar akan sholat di Baitul Maqdis”. Mendengar pertanyaan sahabt tersebut, lalu Nabi bersabda ; “ shalat disini, yakni Masjidil Haram itu lebih utama”. Nabi SAW lalu bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya kamu shalat di sini (masjid al-Haram Makah), maka sudah mencukupi bagimu untuk memenuhi nazarmu’. Kemudian Nabi SAW, bersanda lagi: “Shalat di masjid ii, yaitu Masjid al-Haram itu lebih utama daripada 100 000 kali shalat di selain masjid al-Haram”.(HR.Abdurrazzaq dalam kitab al-Mushannafnya).[5]
C.     Urgensi dan signifikansi Asbabul Wurud
Asbabul wurud mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka memahami suatu hadis. Sebab biasanya hadis yang disampaikan oleh Nabi bersifat kasuistik, cultural, bahkan temporal. Oleh karenanya, memperhatikan konteks historisitas munculnya hadis sangat penting, karena paling tidak akan menghindarkan kesalahpahaman dalam menangkap maksud suatu hadis. Sedemikian rupa sehingga kita tidak terjebak pada teksnya saja, sementara konteksnya kita abaikan atau kita ketepikan sama sekali. Pemahaman hadis yang mengabaikan peranan asbabul wurud akan cenderung bersfat kaku, literalis-skriptualis, bahkan kadang kurang akomodatif terhadap perkembangan zaman.
Adapun urgensi asbabul wurud menurut imam as-Suyuthi antara lain untuk:
  1. Menentukan adanya takhsish hadis yang bersifat umum.
  2. Membatasi pengertian hadis yang masih mutlak.
  3. Mentafshil (memerinci) hadis yang masih bersifat global.
  4. Menentukan ada atau tidak adanya nash-mansukh dalam suatu hadis.
  5. Menjelaskan ‘illat (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum.
  6. Menjelaskan maksud suatu hadis yang masih musykil (sulit dapahami)
Sebagai ilustrasi, akan diberikan beberapa contoh mengenai fungsi asbabul wurud hadis, yaitu untuk menentukan adanya takhsish terhadap suatu hadis yang ‘am, misalnya hadis yang berbunyi:
صلاة القاعد على النصف من صلاة القائ
Shalat orang yang sambil duduk pahalanya separoh dari orang yang sholat sambil berdiri.” (H.R. Ahmad)
Pengertian “shalat” dalam hadis tersebut masih bersifat umum. Artinya dapat berarti shalat fardhu dan sunnat. Jika ditelusuri melalui asbabul wurudnya, maka akan dapat dipahami bahwa yang dimaksud “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat, bukan shalat fardhu. Inilah yang dimaksud dengan takhshish, yaitu menentukan kekhususan suatu hadis yang bersifat umum, dengan memperhatikan konteks asbabul wurud.
Asbabul wurud hadis tersebut adalah bahwa ketika itu dimadinah dan penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka kebanyakan para sahabat lalu melakukan shalat sunnah sambil duduk. Pada waktu itu, nabi kebetulan datang dan tahu bahwa mereka suka melakukan shalat sunnat tersebut sambil duduk. Maka nabi kemudian bersabda :”Shalat orang yang sambil duduk pahalanya separuh dari orang yang shalat dengan berdiri”. Mendengar pernyataan nabi tersebut, akhirnya para sahabat yang tidak sakit memilih shalat sunnat sambil berdiri.
Dari penjelasan asbabul wurud tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat. Pengertiannya adalah bahwa bagi orang yang sesungguhnya mampu melakukan shalat sunnah sambil duduk, maka ia akan mendapat pahala separoh dari orang shalat sunnat dengan beridiri.
Dengan demikian, apabila seseorang memang tidak mampu melakukan shalat sambil berdiri -mungkin karena sakit-, baik shalat fardhu atau shalat sunnat, lalu ia memilih shalat dengan duduk, maka ia tidak termasuk orang yang disebut-sebut dalam hadis tersebut. Maka pahala orang itu tetap penuh bukan separoh, sebab ia termasuk golongan orang yang memang boleh melakukan rukhshah atau keringanan syari’at.
Adapun contoh mengenai asbabul wurud yang berfungsi untuk membatasi pengertian yang mutlak adalah hadis yang berbunyi:
من سن سنة حسنة عمل بها بعده كان له أجره مثل أجورهم من غير أن ينقص من أجورهم شيئا و من سن سنة سيئة فعمل بها من بعده كان عليه وزره ومثل أوزارهم من غير أن ينقص من أوزارهم شيئا
Barang siapa melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi atau perilaku yang baik), lalu sunnah itu diamalkan orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapatkan pahalanya seperti pahala yang mereka lakukan, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Demikian pula sebaliknya, barang siapa yang melakukan suatu sunnah sayyi’ah (tradisi atau perilaku yang buruk) lalu diikuti orang-orang sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan dosa mereka, tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa yang mereka peroleh.” (H.R. Muslim)
Kata “sunnah” masih bersifat mutlak, artinya belum dijelaskan oleh pengertian tertentu. Ia dapat berarti sunnah hasanah (perilaku yang baik) dan sunnah sayyi’ah (perilaku yang jelek). Sunnah merupakankata yang mutlaq baik yang mempunyai dasar pijakan agama atau tidak.
Asbabul wurud dari hadis tersebut adalah ketika itu Nabi SAW sedang bersama-sama sahabat. Tiba tiba datanglah sekelompok orang yang kelihatan sangat susah dan kumuh. Ternyata mereka adalah orang-orang miskin. Melihat fenomena itu, Nabi SAW wajahnya menjadi merah, karena merasa empati, iba dan kasihan. Beliau lalu memerintahkan kepada sahabat yang bernama bilal agar mengumandangkan adzan dan iqamah untuk melakukan shalat jama’ah. Setelah selesai jama’ah shalat, Nabi SAW kenudian berpidato, yang inti pidatonya adalah menganjurkan agar bertaqwa kepada Allah SWT dan mau menginfaqkan sebagian hartanya untuk sekelompok orang-orang miskin tersebut.
Mendengar anjuran itu, maka salah seorang dari sahabat Anshar lalu keluar membawa satu kantong bahan makanan dan diberikan kepada mereka. Ternyata yang dilakukan oleh Anshar itu kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain. Maka kemudian Nabi bersabda :
من سن سنة حسنة  … الحديث
Dari asbabul wurud tersebut, as-Suyuthi menyimpulkan bahwa yang dimaksud sunnah dalam hadis tersebut adalah sunnah yang baik.
Adapun cara mengetahui asbabul wurudnya sebuah hadis adalah dengan melihat aspek riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa wurudnya hadis, sebab-sebab wurudnya hadis, ada yang sudah tercantum pada matan hadis itu sendiri, ada yang tercantum pada matan hadis lain. Dalam hal tidak tercantum, maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar pemberitaan para sahabat
Dalam menentukan naskh dan mansuh suatu hadis dapat ditemukan dalam hadis nabi berikut ini :
أفطر الحاجم والمحجوم.
“ Puasa prang yang berbekam (canthuk) dan yang minta dibekam adalah batal.”(H.R Imam Ahmad)
لايفطر من قاء ولا من إحتلم ولا من إحتجم.
Tidak batal puasa orang yang muntah,orang yang bermimpi keluar sperma dan orang yang berbekam.”(H.R Abu Dawud)
Kedua hadis diatas tampak saling bertentangan. Yang pertama menyatakan bahwa orangyang ber berchantuk dan minta dicanthuk sama-sama batal puasanya. Sedangkan hadis yang kedua menyatakan sebaliknya. Menurut pendapat Imam Syafi’I dan Imam Ibnu Hazm, hadis pertama sudah dinaskh (dihapuskan) dengan haids yang kedua. Karena hadis pertama datang lebih awal dari hadis yang kedua.
Asbabul wurud hadis tersebut ialah pada waktu siang hari di Bulan Ramadhan, Nabi SAW kebetulan melewati orang yang sedang canthuk (diambil darah kotornya). Kedua orang itu yakni, yang melakukan canthuk  dan yang dicanthuk  sedang mengumpat atau membicarakan kejelekan orang lain, melihat perbuatan tersebut Nab SAW kemudian bersabda:
أفطر الحاجم والمحجوم
“ Batal puasa orang yang melakukan canthuk dan yan dicanthuk.”
Namun,jika dilihat secara kritis dari konteks asbabul wurudnya, hadis tersebut tidaklah Mansukh (dihapus ketentuannya), sebab yang dimaksud batal itu adalah batal pahala puasanya , karena menggunjing orang lain, bukan karena melakukan canthuk.
D.    Kitab-Kitab yang Berbicara tentang Asbabul Wurud
Adapun kitab-kitab yang banyak bicara mengenai asbabul wurud antara lain:
1.      Asbabu Wurud al-Hadis karya Abu Hafs al-Ukbari (w.339 H), namun sayang kitab tersebut tidak dapat sampai ke tangan kita.
2.      Asbabu Wurud al-Hadis karya Abu Hamid Abdul Jalil al-Jabari. Kitab tersebut juga tidak sempat sampai ke tangan kita.
3.      Asbabu Wurud al-Hadis atau yang disebut juga al-Luma’ fi asbab Wurudil hadis, karya Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi. Kitab tersebut sudah ditahqiq oleh yahya Ismail Ahmad.
4.      Al-Bayan wa at-Ta;rif karya Ibnu Hamzah al-Husaini ad-Dimasyqi (w.1110 H).

E.     Memahami Hadis yang Tidak Memiliki Asbabul Wurud secara Khusus
Pengkajian asbabul wurud  sebagai salah satu penentu ‘ilat hukum memang sangatlah penting. Namun, perlu kita ketahui bahwa tidak semua hadis memiliki asababul wurud secara khusus. Dalam kasus ini, salah satu metode yang dapat kita gunakan adalah pendekatan historis, sosiologis, antropologis bahkan psikologis yang dapat kita gunakan sebagai pisau analisis.
Pendekatan sosio-historis menekankan pada pertanyaan mengapa Nabi bersabda demikian? Dan bagaimana kondisi sosio-kultural masyarakat dan bahkan politik saat itu? Sebagai contoh adalah hadis mengenai larangan mengangkat wanita sebagai pemimpin :
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Tidak akan suskes suatu kaum yang yang menyerahkan urusan kepemimpinannya kepada wanita” (HR. Al-Bukhari)
Secara tekstual, hadis ini memberikan isyarat bahwa wanita tidak berhak menjabat sebagai kepala pemerintahan, pemimpin masyarakat bahkan termasuk hakim sekalipun. Namun, ketika kita meliat dari sudut pandang historisnya, hadis ini terucap dari Nabi SAW ketika mendengar pergantian pemimpin di kerajaan Persia. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, pemimin yang diangkat bukan dari golongan laki-laki, namun wanita.
Pada masa tersebut, wanita masih dipandang minor. Perempuan tidak dipercaya menurusai masalah politik, lebih-lebih memimpin. Pandangan semacam ini sebenarnya sangat logis, karena pengalaman, pengetahuan serta wawasan kaum wanita masih sangat rendah jika dibanding dengan laki-laki. Dalam kondisi sosio-historis inilah Nabi SAW, yang memiliki kearifan menyatakan bahwa bangsa yang menyerahkan kepemimpinan kepada wanita tidak akan sukses. Oleh karena itu, jika di kemudian hari, wanita telah berkembang dari segi wawasan, pengetahuan serta kapabilitas sebagai pemimpin, maka sah-sah saja wanita menjadi pemimpin.

























[1] Fatchur Rahman.Ikhtishar Musthalahu’l-Hadits.hlm.273
[2] Said Agil Husain Munawwar,Abdul Mustaqim.Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual.hlm.5
[3] Ibid.hlm.9
[4] Fatchur Rahman, hlm.276
[5] Said Agil Husain Munawwar,Abdul Mustaqim.Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual.hlm.19/

Comments