Tinjauan umum tentang jua beli Tanah.

LINK DOWNLOAD FILE NYA








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
            Perkembangan jumlah penduduk kebutuhan akan tanah terus meningkat, kebutuhan-kebutuhan tersebut terkadang menimbulkan perselisihan kepentingan sehingga masalah pertanahan menjadi hal yang sering dihadapi oleh masyarakat. Pentingnya memiliki hak atas sebuah pertanahan tentunya harus membutuhkan pengesahan atas pertanahan tersebut agar dalam menguasi tanah tersebut tidak menimbulkan cacat hukum. Kebutuhan akan pentingnya suatu pengesahan dan perlindungan atas jaminan dalam bidang pertanahan perlu adanya kepastian hukum atas tanah dan isinya. Akta Otentik dari penjualan tanah harus dimiliki oleh setiap orang atau badan hukum yang menguasai tanah sebab akta jual beli tanah adalah bukti
penguasaan atas tanah yang bersifat mutlak sehingga tidak dapat diganggu-gugat oleh pihak-pihak lainnya.
             Penguasaan tanah berarti  jika ditinjau dari aspek waktu/lamanya seseorang dapat mempunyai/menguasai tanah sesuai dengan isi kewenangan dari hak atas tanah tersebut, maksudnya pemegang hak atas tanah dilindungi dari gangguan baik dari sesama warga negara dalam bentuk misalnya penguasaan ilegal ataupun dari penguasa. Pada dasarnya jika pihak lain memerlukan tanah untuk keperluan apapun, maka cara untuk memperoleh tanah yang diperlukan harus dilalui dengan cara musyawarah dengan pemegang hak atas tanah hingga tercapai kata sepakat yang benar-benar keluar dari maksud baik antara kedua belah pihak yang bersangkutan.












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tinjauan umum tentang jua beli Tanah.
1.      Jual-beli Tanah Menurut UUPA
            Sebelum berlakunya UUPA, Indonesia masih mengikuti peraturan dualism dalam hukum agrarian, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa masih berlaku dua macam hukum yang menjadi dasar bagi hukum pertanahan kita, yaitu hukum adat dan hukum barat. Sehingga terdapat juga dua macam tanah yaitu tanah adat (tanah Indonesia) tanah barat (tanah eropa). Dalam pengertian hukum adat “jual-beli” tanah adalah merupakan suatu perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang dijualnya kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli membayar harga tanah tersebut kepada penjual. Maka mulai sejak itu hak atas tanah telah beralih ari penjual kepada pembeli. Sehubungan dengan hal tersebut  Boedi Harsono  berpendapat bahwa dalam hukum adat perbuatan pemindahan hak (jual-beli, tukar-menukar, hibah) merupakan perbuatan hukum yang bersifat tunai[1].
            Menurut Pendapat Saleh Adwinata menyatakan, jual beli menurut UUPA berlaku,maka dari saat terjadinya persetujuan jual beli sampai kepada sipembeli menjadi pemilik penuh adalah berebeda sekali caranya beserta formalitasnya lainnya adalah lebih mirip kepada jual beli eigendom dari jual beli tanah dengan hak milik Indonesia.  Dalam jual-beli tanah obyeknya, (yang diperjualbelikan) pengertian dalam praktek adalah tanahnya, sehingga timbul istilah jual-beli tanah karena objek jual belinya adalah hak atas tanah yang akan dijual. Memang benar bahwa tujuan membeli hak atas tanah ialah supaya pembeli secara mengusai dan mempergunakan tanah. Tetapi yang dibeli (dijual) itu bukan tanahnya, tetapi hak atas tanahnya. Dalam hukun adat pengertian dari jual-beli tanah merupakan perbuatan pemindahan hak, yang sifatnya tunai,rill dan terang. Sifat tunai berarti berarti penyerahan hak pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Jaul-beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual-beli dimuka.
            Sejak berlakunya PP No.10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual-beli dihadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta jual-beli yang ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan dari hak penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya. telah memenuhi syarat tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata atau rill perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan. Akta tersebut tersebut membuktikan bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya dan pembayaran harganya. Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut membuktikan bahwa penerima hak (pembeli) sudah menjadi pemegang hak yang baru[2].
            Syarat jual-beli tanah ada dua, yaitu syarat materil dan syarat formil;
            a. Syarat Materiil
Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual-beli tanah tersebut dimana pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan, Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang dimilikinya. Menurut UUPA, yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah (pasal 21 UUPA). Kemudian tanah hak yang bersngkutan boleh diperjual-belikan dan tidak dalam sedang sengketa.
            b. Syarat Formil
Setelah  semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) akan membuat akta jual-belinya. Akta jual-beli menurut pasal 37 PP 24/1997 harus dibuat oleh PPAT Jual-beli yang dilakukan.
2.      Jual beli Tanah Menurut KUHPerdata
Perjanjian jual-beli yang dianut KUHPerdata hak atas tanah dilakukan dengan membuat akta perjanjian jual-beli hak dihadapan notaries, dimana masing-masing pihak saling berjanji untuk melakukan suatu prestasi berkenaan dengan hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli itu, yaitu pihak penjual untuk menjual dan menyerahkan tanahnya kepada pembeli dan pembeli membeli dan membayar harganya[3].
            Perjanjian jual-beli yang dianut KUHPerdata tersebut bersifat obligator, karena perjanjian itu belum memindahkan hak milik. Adapun Hak milik baru berpindah dengan dilakukannya Levering atau penyerahan. Dengan demikian, maka dalam system KUHPerdata tersebut “levering” merupakan suatu perbuatan yuridis guna memindahkan hak milik (transfer of ownership). Sedangkan pengertian jual-beli tanah yang tercantum dalam pasal 145 KUHPerdata menyatakan bahwa jual-beli tanah adalah sesuatu perjanjian dengan mana penjual mengikatkan dirinya (artinya berjanji) untuk menyerahkan hak atas tanah yang
bersangkutan kepada pembeli dan pembeli mengikatkan dirinya untuk membayar kepada penjual harga yang telah disetujui. Untuk mengetahui jual-beli secara umum, kita lihat pasal 1457 kitab undang-undang hukum perdata yang menyebutkan, jual-beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain membayar harga yang telah dijanjikan Jual-beli menurut KUHperdata adalah perjanjian timbal-balik dimana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas sesuatu barang, sedangkan pihak yang lainnya pembeli berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perelohan hak milik tersebut.
            Tentang persetujuan jual beli pasal 1458 KUH Perdata menyebutkan jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya. Meskipun kebendaan tersebut belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar[4]. Jual-beli hak atas tanah, merupakan hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari, didalm praktik lalu-lintas hukum. Akan tetapi jual-beli atas tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak akan
mengakibatkan batal demi hukum.Sebidang tanah yang merupakan harta warisan dari beberapa orang, maka yang berhak menjual tanah tersebut adalah para ahli warisnya. Jadi
diperbolehkan  seoarang saja yang bertindak  sebagai penjual atau semua ahli warisnya itu bertindak sebagai penjual dan apabila salah seorang tidak diikut sertakan dalam jual-beli tersebut, maka jual beli tersebut batal. Dalam hal untuk menjual tanah seseorang itu berhak atas sesuatu tanah , akan tetapi orang tersebut belum  berwenang untuk menjual haknya. Karena belum dipenuhi syarat-syarat tertulis yaitu masih dibawah untuk menjual haknya, karena belum dipenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu masih dibawah umur atau belum dewasa untuk bertindak sendiri didalam hukum.  Dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1961 yang mengatur hak-hak yang harus didaftar yang meliputi :
a. Hak Milik
b. Hak guna Usaha
c. Hak Guna bangunan
d. Hak pakai Atas Tanah Negara
e. Hak Pengelolaan dan Hak Gadai
Jual beli tanah yang ada objeknya adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah Negara yang harus dilakukan di PPAT, dan dilakukan pula akta dibawah tangan dan dilakukan dihadapan PPAT seperti yang sudah diatur dalam undang-undang no19 PP No.10/1961 dijelaskan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak asas tanah, harus dibuktikan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Jadi Jual-beli atas tanah dilakukan dihadapan PPAT yang sebagai bukti bahwa telah terjadi jual-beli hak atas tanah.
B.     Pembatalan Akta jual-beli Tanah
1.      Pembatalan sertifikat Atas tanah
Pembatalan adalah pernyataan batalnya suatu tindakan hukum atau perbuatan hukum atas tindakan hukum atau perbuatan hukum atas tuntutan dari pihak-pihak yang oleh undang-undang dibenarkan untuk menuntut pembatalan. Menurut kamus Bahasa Indonesia (KBBI) Pengertian dari pembatalan adalah “suatu proses, cara, perbuatan membatalkan, atau suatu pernyataan batal”. Suatu akta merupakan suatu tulisan yang memang sengaja dibuat untuk dapat dijadikan bukti bila ada suatu peristiwa dan ditanda tangani.  Pengertian pembatalan ini mengandung dua macam kemungkinan alasan yaitu pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif, dan pembatalan karena adanya wanprestasi dari debitur. Pembatalan dapat diartikan dengan tiga syarat yakni :
a) Perjanjian harus bersifat timbal-balik (bilateral).
b) Harus ada wanprestasi (breach of contract)
c) Harus dengan putusan hakim (verdict)
Pembatalan Hak atas Tanah dalam pasal 1 angka 12 Peraturan Mentri Negara Agraria/ kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 3 tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah, Selanjutnya disebut PMNA/KBPN NO 3 TAHUN 1999 “Pembatalan Keputusan mengenai pemberian suatu hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum dalam penerbitannya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap “ Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan pertanahan Nasional Nomor: 9 tahun 1999 tentang Tata cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak pengelolaan, selanjutnya disebut PMNA/KBPN 9/1999, pengertian Pembatalan hak Atas Tanah yitu,” Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pembatalan hak atas tanah dalam pasal 104 ayat (1) PMNA/KBPN No. 9/1999 meliputi 3 (tiga) produk pelayanan BPN Yaitu:
a. Surat Keputusan Pemberian Hak atas Tanah
b. Sertifikat hak Atas Tanah
c. Kesalahan subyek hak
d. Kesalahan obyek hak
e. Kesalahan jenis hak
f. Kesalahan perhitungan luas
g. Terdapat tumpang tindah hak atas tanah
h. Terdapat ketidakbeneran pada data fisik dan/atau data yuridis atau
i. Kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif
Dalam konteks Hukum Perjanjian Indonesia menurut KUH Perdata, terdapat beberapa alasan untuk membatalkan perjanjian. Alasan itu dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori sebagai berikut:
a. Tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undag-undang untuk jenis perjanjian formil. yang berakibat perjanjian batal demi hukum.
b. Tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, yang berakibat;
1) Perjanjian batal demi hukum. Atau
2) Perjanjian dapat dibatalkan;
c. Terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian bersyarat
d. Pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar action paulina
e. Pembatalan oleh pihak yang diberi kewenangan khusus berdasarkan
    undang-undang.
Apabila perjanjian batal demi hukum artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian, dan dengan demikian tidak pernah ada suatu perikatan. Sedangkan arti dari perjanjian yang dapat dibatalkan dimaksudkan apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur subjektif untuk sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu kesepakatan pada pihak dan kecakapan para pihak untuk melakukan perbuatan hukum,
sedangkan pejabat yang dapat membuatnya tidak dapat dihindarkan agar berbobot yang sama harus pula ditentukan oleh undang-undang atau peraturan perundang-undangan setingkat dengan undang-undang.
            Menurut ketentuan pasal 1266 ayat (1) KUHPerdata, syarat batal dianggap tercantum dalam perjanjian timbale-balik, apabila salah satu pihak dalam perjanjian tersebut mengingkari apa yang telah diperjanjikan. Pasal 1266 ayat(2) KUH-Perdata menyatakan bahwa untuk membatalkan suatu perjanjian harus dengan putusan hakim. Selanjutnya pasal 1266 ayat (3) KUH-Perdata menegaskan bahwa permintaan pembatalan tersebut harus dilakukan meskipun syarat batal telah dicantumkan dalam perjanjian[5]. Dalam Praktik dilapangan para pihak yang membuat suatu perjanjian sering mengabaikan ketentuan pasal 1266 ayat (2) tersebut. Akta tersebut membuktikan bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya dan pembayaran harganya. Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut membuktikan bahwa penerima hak (pembeli) sudah menjadi pemegang haknya yang baru.Pembatalan yang diputuskan oleh hakim pengadilan Negari atas suatu akta PPAT dapat terbentuk batal demi hukum (van rechtswege neiting) atau dapat dibatalkan (van rechtswege neiting) atau dapat dibatalkan (verniettigbear), apabila suatu akta dari PPAT tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh undang-undang (pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata), yaitu apabila tidak memenuhi syarat subyektif (sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, cakap untuk berbuat sesuatu perjanjian) dan syarat objektif (suatu dasar pertimbangan tersebut Hakim Pengadilan Negeri dapat membatalkan suatu akta PPAT dalam bentuk batal demi hukum apabila tidak memenuhi syarat objektif atau dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat subyektif.
2.      Analisis kasus pembatalan akta tanah.
            Pembatalan akta tanah adalah  pernyataan batal suatu tindakan hukum
atau perbuatan hukum atas tuntutan pihak-pihak yang oleh undang-undang dibenarkan untuk menuntut pembatalan tersebut. Dalam proses pembatalan akta tanah diperlukan penelitian terhadap keabsahan akta otentik jual beli tanah tersebut. Akta jual-beli merupakan Akta Autentik sebagai alat bukti terkuat dan mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum, dalam kehidupan masyarakat yang dapat menetukan secara tegas hak kewajiban, sehingga menjamin kepastian hukum dan sekaligus dapat menghindari terjadinya sengketa.  Seperti kasus yang terjadi disemarang tepatnya diwonosari, kecamatan Ngaliyan, kota semarang 2009 terjadi sengketa akta tanah yang terjadi dalam keluarga sebagai ahli waris dari almarhum Wetik vicesco.  autentik sebagai alat bukti merupakan bukti terkuat dan memiliki
kekuatan pembuktian sempurna dipengadilan. Pengadilan Negeri Semarang dalam Putusan No.190/PDT.G/2009/PN. Smg akhirnya memberikan kesimpulan bahwa gugatan penggugat dikabulkan untuk sebagian yaitu menyangkut hak waris yang diberikan kepada para penggugat yang berstatus ahliwaris dari Wetik Vicesco Laurentino Boyke Suharso dengan pertimbangan bahwa tanah SHM No.4175/kel. Wonosari, kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang dan bangunan di atasnya adalah milik para ahli waris yang dimiliki penggugat maupun tergugat.

            melalui bukti tertulis dan saksi-saksi selama persidangan. Majelis hakim memerintahkan kepada tergugat untuk menyerahkan tanah dan bagunan SHM No 4175 seluas ± 150 m2 yang terletak di kel Wonosari, kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang kepada penggugat Majelis hakim juga menyatakan bahwa akta jual beli No 17/2009 tanggal 4 juni 2009 dihadapan Notaris-PPAT Ciciek Suciati Indah Suryani tidak mempunyai kekuatan hukum karena akta jual tanah terebut menurut pertimbangan hakim dibuat dengan proses yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum dimana para ahli waris yang lain atau pihak yang juga berhak menguasai tanah dan bangunan SHM No 4175 tersebut  yaitu para penggugat  (ahli waris yang lain) tidak ikut dilibatkan dalam perikatan perjanjian jual beli dengan tergugat.
            Akibat hukum pembatalan jual beli tanah oleh pengadilan Tinggi Semarang terhadap akta Tanah ini adalah Pengadilan mengabulkan gugatan atas pembatalan akta jual beli tanah yang di periksa di Pengadilan Negeri Semarang dan menyatakan jual beli tanah tersebut batal dan tanah sengketa tersebut menjadi hak milik dari penggugat, akibat dari pembatalan akta PPAT ini dilakukan oleh kesalahan dari tergugat memberikan data yang tidak benar sehingga mengakibatkan cacat administrasi pada akta tanah. Dengan batalnya akta jual beli tanah
tersebut maka tergugat harus mengembalikan semua yang menjadi hak dari penggugat, karena yang berhak atas hak milik dari tanah tersebut adalah para ahli waris dari Almarhum  Wetik Vicesco Laurentino Boyke Suharso.
            Maka dari itu dalam kasus sengketa tanah diatas tersebut disini ada para pihak yang berperkara yaitu para ahli waris dari almarhum Watik Vicesco, sedangkan kronologis terjadinya perkara yaitu  karena salah satu dari ahli waris menjual tanahnya tanpa melibatkan ahli waris yang lainnya. Adapun analisis pertimbangan hukum yang digunakan hakim yaitu menggunakan akta yang dibuat oleh cicik dengan data yang tidak benar.
                                                                                            






BAB III
KESIMPULAN
Sejak berlakunya PP No.10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual-beli dihadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yangdilakukan secara sembunyi-sembunyi).
Syarat jual-beli tanah ada dua, yaitu syarat materil dan syarat formil;
a.       Syarat Materiil
b.      Syarat formel
Tentang persetujuan jual beli pasal 1458 KUH Perdata menyebutkan jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya.
            Pembatalan akta tanah adalah  pernyataan batal suatu tindakan hukum atau perbuatan hukum atas tuntutan pihak-pihak yang oleh undang-undang dibenarkan untuk menuntut pembatalan tersebut. Dalam proses pembatalan akta tanah diperlukan penelitian terhadap keabsahan akta otentik jual beli tanah tersebut. Akta jual-beli merupakan Akta Autentik sebagai alat bukti terkuat dan mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum, dalam kehidupan masyarakat yang dapat menetukan secara tegas hak kewajiban, sehinnga menjamin kepastian hukum dan sekaligus dapat menghindari terjadinya sengketa.















DAFTAR PUSTAKA
·         Harsono, Boedi.  Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2008.
·         Buang Afandi. 2008. “ Akibat hukum Terhadap pembataln jual beli tanah di Jakarta” Tesis fakultas Hukum      Universitas Diponegoro.
·         Soimin, Seodharyo. 2001. Status Hak dan Pembebasan Tanah. Jakarta. Sinar Grafika.
·         Undang-Undang KUHPerdata. Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 , Tentang Pokok-pokok Agraria.






[1] . Harsono, Boedi.  Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2008.
[2] . Ibid hlm2
[3] . Buang Afandi. 2008. “ Akibat hukum Terhadap pembataln jual beli tanah di Jakarta” Tesis fakultas Hukum      Universitas Diponegoro.
[4] . Soimin, Seodharyo. 2001. Status Hak dan Pembebasan Tanah. Jakarta. Sinar Grafika.
[5] . Undang-Undang KUHPerdata. Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 , Tentang Pokok-pokok Agraria

Comments

Popular posts from this blog

Asbabul Wurud dalam Perspektif Ilmu Hadis