TOKOH TOKOH MAZHAB DAN PEMIKIRAN



Tokoh-Tokoh Mazhab Dan Pemikirannya

Mazhab berdiri dan berkembang tidak lepas dari peranan imam besar mereka yang menjadi acuan pemikiran dalam melaksanakan hukum syar’at. Walaupun imam besar tersebut bukanlah penggerak utamaberdirinya mazhab, akan tetapi pemikiran yang merupakan hasil ijtihadnya menjadi penggerak utama bagi murid-muridnya dan pengikutnya yang lain secara kolektif di berbagai daerah untuk membukukan dan menjadikannya sebagai sebuah mazhab.  Adapun beberapa tokoh mazhab yang mu’tabar di kalangan sunni ada empat mazhab dengan tokohnya sebagai berikut:

1. Imam Hanafi (80H/699M)

Al-Nu’man bin Tsabit bin Zauthi, yang lebih dikenal sebagai Imam Abu Hanifah, lahir pada tahun 80 H/699 M di Kufah ( Irak ) dan meninggal dalam usia ke-70 pada tahun 150H/769M saat Dawlah Abasiyah baru mulai berkuasa. Konon ayah beliau adalah seorang hamba sahaya keturunan bani Taimilah, sehingga nama Abu hanifah dinisbatkan kepada Timi. Tetapi para pengikut Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa beliau adalah  orang merdeka yang bertempt di Persia. Pada masa Abu Hanifah setidaknya ada lima orsng sahabat Nabi SAW. Yang masih hidup diantaranya Anas bin Malik di Basrah, Abdullah bin Aufa di Kuffah, Sahal bin Sa’at Al-As’adi di Madinah, Abu Al-Thufail, dan ‘Amir bin Wailah di Makkah. Bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau pernah bertemu Imam Anas bin Malik di Mekkah.
Imam Abu hanifah berguru pada ‘Atha’ bin Abi Rabah, Hisyam bin Urwah, Nafi’ Maulana ibnu Umar dan yang paling banyak diambil ilmunya adalah Hammad bin Sulaiman Al-Asy’ari ( Wafat 120 H ) yang berguru langsung kepada Ibrahim An-Nakha’i.
Ia memiliki kekuatan nalar yang luar biasa dan merumuskan sebuah teori yang  disebut istihsan atau pilihan hukum yang menunjukkan kelonggaran atas analogi yang ketat demi kepentingan umum[1].
Di sini dapat dicatat bahwa penalaran seseorang dapat disebut opini atau ra’yu, tetapi ketika dipergunakan oleh mujtahid atau orang yang memenuhi persyaratan maka disebut ijtihad atau usaha menyimpulkan peraturan-peraturan hukum. Ketika di tujukan untuk mencapai sistematika konsistensi dan di tuntun oleh kesamaan institusi atau keputusan yang ada maka disebut qiyas atau analogi, kesamaan penalaran ketika merefleksikan pilihan pribadi dan kebebasan pendapat seorang ahli hukum, yang dituntun oleh idenya yang tepat, maka disebut istihsan atau istishab, “persetujuan” atau “pilihan”.[2] 
Imam Abu Hanifah mengajak kebebasan berpikir dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan menganjurkan pembahasan yang bebas. Ia banyak mengandalkan qiyas dalam menentukan hukum dan lebih mengutamakan analogi yang rendah tetapi menguntungkan dari pada qiyas yang kuat tetapi tidak menguntungkan.[3]
Tentang cara beliau dalam menetapkan hukum dari suatu persoalan diungkapkannya sendiri sebagai berikut:
  “Sungguh saya berpegang kepada kitab Allah jika aku dapati disana , jika  tidak , maka saya bersandar pada sabda-sabda rasul yang shahih yang terdapat di kalangan orang-orang yang dapat dipercaya. Bila di AlQur’an dan Hadis tidak saya temukan sesuatu pun, maka saya beralih kepada keterangan sahabat. Saya mengambil mana yang saya kehendaki dan meninggalkan mana yang saya tidak kehendaki. Setelah berpijak kepada pendapat para sahabat, saya menengok kepada pendapat orang lain. Jika telah sampai kepada pendapat Ibrahim, Al-Syu’abi, Hasan Basri, Said Ibnu Musayyab sambil beliau mengemukakan beberapa nama ulama besar dari para mujtahid, maka aku pun berhak melakukan ijtihad sebagaimana yang mereka lakukan”[4].
   Imam Abu Hanifah adalah imam Ahlul Ra’yi dalam menghadapi nash Al-Qura’n danAs-Sunnah,iya berusaha menangkap maksud dan tujuan dibalik nash tersebut. Maka beliau dikenal sebagai ahli di bidang Ta’lil Al-Ahkam dan Qiyas. Dari kepribadianya itu iya memunculkan metode Istihsan.
Keputusan fiqihnya dapat kita jumpai dalam contuh kasus di bawah:
Abu Hanifah pernah ditanya, “apa pendapat anda mengenai hukum minum dengan wadah yang di sebagian sissinya terdapat perak?” Ia menjawab “tidak mengapa.”  Ditanya lagi “Bukankah minumdengan wadah emas dan perak dilarang oleh Rasulullah SAW?” Ia menjawab “Lantas apa pendapat anda kalau anda melintasi saluran air, dalam keadaan haus kemudian minum air itu dengan menciduknya dengan kedua tanganmu yang disalah satu jarimu terdapat cincin emas atau perak?” Sang penanyapun menjawab “Tidak mengapa.” Begitulah kata Imam Abu Hanifah.[5]

    Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Abu Hanifah mengistimbatkan hukum berdasar kepada:
a.       Al-Qur’an
b.      Hadis Nabi dan atsar Sahabat dan tabi’in yang shaih dan terkenal.
c.       Fatwa sahabat
d.      Qiyas 
e.       Istihsan
f.        Adat yang berlaku di masyarakat.

      

 2. Imam Malik (179 M/795 H )

     Malik bin Anas yang terkenal sebagai imam Malik lahir pada tahun 95 M / 713 H di Madinah, ia dianggap sebagai ahli Hadis yang paling terkemuka. Ia juga seorang ahli hukum yang besar dan aliran Maliki di sesuaikan namanya. Ia banyak belajar tentang hadis Nabi dan ketetapan yang diambil oleh para sahabatnya. Tetapi tidak boleh di bayangkan bahwa alirannya didasarkan pada sikap mendukung hadis secara kaku.
     Kenyataannya justru sebaliknya, beberapa hal sulit untuk dibedakan antara aliran Imam Malik dan Abu Hanifah. Karena sumber pertamanya Al Qur’an, kemudian sunah Nabi. Ia digabungkan dengan pengalaman para khalifah dan undang-undang kota yang tidak tertulis. Imam Malik sangat terikat dengan arti penting tradisi Madinah dengan anggapan tradisi-tradisi ini mesti telah dipindahkan dari masa Nabi.
    Konseps lain yang diusung oleh Malik dan alirannya adalah persetujuan atau Ijma’. Ia tidak memberikan kekuasan memutuskan melalui Ijma’ kepada dunia luar, karena persetujuan Madinah semata dapat menetapkan kebenaran universal.[6]
    Jika ijma’ tidak didapatkan barulah beliau berpindah kepada qiyas. Bila qiyas juga tidak beliau dapatkan, maka beliau memutuskan dengan jalan al-mashalih mursalah atau istishlah, yakni memelihara tujuan agama dengan jalan menolak kebathilan dan mencari kebaikan, atau memelihara tujuan syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusak ketentuan Allah. Ketentuan Mashalih Mursalah digunakan ketika semua dasar-dasar penetapan hukum di atas tidak ada yang menentangnya.[7]
     Salah satu karya agungnya yang masih dapat kita jumpai sampsai kini adalah kitab Al-Muwattha’, sebuah kitab hadits bergaya fiqih, atau kitab fiqih bergaya hadits. Kitab ini merupakan kitab fiqih tertua yang masih eksis hingga saat ini dan menjadi rujukan utama para pengikut mazhab Maliki. Kitab ini berisi tidak kurang dari 132 hadist dari Al-Zuhri dan juga sekitar delapan puluh hadits yang dimuat dalam Al-Muwattha’ yang didapat dari Nafi’ Maulana ‘ibnu Umar.
     Dengan keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa dasar mazhab Maliki dalam menentukan hukum adalah :
a.       Al-Qur’an
b.      Sunnah
c.       Ijma’/Amal ahli Madinah
d.      Qiyas
e.       Maslahah Mursalah

3. Imam Syafi’i (204 H/819 M)

    Muhammad bin Idris al-Syafi’i, yang dikenal sebagai Imam Syafi’i adalah murid dari Imam  Malik. Ia lahir di Palestina tepatnya di Gazza pada tahun 150 H / 767 M.  Beliau dilahirkan dengan kecerdasan tingkat tinggi yang tidak semua orang bisa menjangkaunya. Ia adalah pelopor Yuresprudensi Islam. Teori-teorinya terkenal karena pandangannya sederhana dan keseimbangan hukum. Karyanya  yang paling mashuradalah Ar-Risalah yang merupakan karya monumental yang menunjukan pandangannya yang jelas dan pemahaman yang penuh mengenai pengetahuan hukum yang memungkinkannya untuk mengatakan apa yang terbukti kata pemutus dalam permasalahan. Ia membawa tehnik pemikiran hukum ke dalam tingkat kemampuan dan pengusaan yang tidak pernah dicapai sebelumnya, yang hampir tidak dapat disamai dan tidak pernah ada yang melampaui setelahnya.[8]
Dalam mengistimbatkan hukum imam Syafi’i mendasarkan pada hirearki sebagai berikut:  
a)      Al-Qur’an
b)      Hadits
c)      Ijma’
d)      Qiyas

4. Imam Hanbali
Abu Abdillah Ahmad ibn Hambal, yang dikenal sebagai imam Ahmad bin Hambal, lahir di Bagdad pada tahun 164 H / 780 M. Beliau lebih masyhur  sebagai ahli hadis dan teologi lebih besar dari pada sebagai ahli hukum. Ia amat ketat memegangi hadis nabi dan penginterpretasikannya secara literal. Tidak seperti imam-imam yang lain, ia membolehkan doktrin Ijma’ dan Qiyas secara amat terbatas. Ia sama sekali tidak menerima pemikiran manusia sebagai sumber hukum, hanya wahyu Illahi dalam Al-Qur’an dan Sunnahlah yang berwewenang sebagai sumber hukum. Di antara fatwa yang menujukkan kehati-hatian beliau adalah bahwa ia mengatakan tidak pernah makan buah semangka karena tidak menjumpai teladan Nabi dalam masalah ini. Musnad adalah karya yang terkenal yang memuat lebih dari 40.000 hadis.[9]
 Inilah empat aliran hukum Sunni yang sampai sekarang masih hidup. Ada beberapa aliran hukum yang lain seperti Al-Auzai (wafat 157 H / 774 M ), Dawud al-Zahiri (wafat 270 H / 884 M ), dan Al-Thabari ( wafat 301 H / 923 M ). Aliran Dawud Al-Zahiri hanya mengenai arti literal (zahir) Al-Qur’an dan Sunnah. Aliran ini beranggapan bahwa menentang agama tidak hanya karena menggunakan kebebasan pengunaan pendapat pribadi yang sangat umum sebelum Syafi’i, tetapi juga menggunakan analogi yang di anjurkan oleh Syafi’i. Menurut Al-Zahiri, ijma’ yang sah adalah ijtihad para sahabat nabi. Tulisan-tulisan dari pengikutnya yang besar, Ibnu Hazm (456 H /1065 M), menyingkap aspekaspek kesamaan tertentu dengan ajaran Hambali dan para ahli hadis secara umum.[10]
Khazanah pemikiran ahli hukum mengalami kemunduran seiring dengan runtuhnya kekuasaan Bani Abbasiyah di Bagdad pada tahun 128 M. Ahli hukum sunni berpendapat bahwa empat aliran di atas yakni imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i, dan imam Ahmad bin Hambal, benar-benar cukup menorehkan tinta emas keagungan pemikir-pemikir muslim bagi sejarah peradaban Islam. Setelah ini mulailah periode Taklid, yakni mengikuti pendapat dari salah satu empat madzab di atas tanpa memilih sumbernya. Tradisi Taklid terus berlanjut dalam waktu yang cukup lama hingga munculnya paham baru yang mendobrak tradisi kaum Salaf As-Shalihin dan pendapat ulama besar mazhab. Gerakan pembaruan ini dilakukan oleh kelompok modernis yang menekankan perlunya reformasireformasi baru dalam bidang pembaharuan hukum Islam. Namun demikian, bagi golongan Sunni, dalam melakukan pembaharuan, tetap menjunjung tinggi tradisi dan pemikiran para imam besar mazhab.
  
UNTUK DOWNLAOD FILE NYA KLIK DI SINI



















DAFTAR PUSTAKA
Ali Sodiqin, Fiqih Uhsul Fiqih, Sejarah Metodologi dan Implementasinya di Indonesia         (Yogyakarta:Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga,2014).
Mardani, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka pelajar,2010).
Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam lintas Sejarah (Jakarta:PT RajaGrafindo 1996).

                                                 


[1] Dr. Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah,Jakarta:PT.RajaGrafindo,1996, hlm.94-95.
[2] Josep Schat, an Introduction in Islamic Law, Oxford: Oxford University, 1964, hlm. 37 
[3] Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, Jakarta: Bulan Bintang,
[4] Al-Makki,Manaqib Abi Hanifah:hlm.99
[5] Ibid
[6] Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997, hlm. 60
               [7]Munawar Kholil, hlm. 110
[8] Muhammad Muslehudin, Op. Cit, hlm. 61
[9] Ibid., 
[10] Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos, 1995, hlm. 107

Comments

Popular posts from this blog

Asbabul Wurud dalam Perspektif Ilmu Hadis