“HAK KONSTITUSI WARGA NEGARA”
A. Pendahuluan
Indonesia
merupakan salah satu negara di dunia yang menerapkan sistem demokrasi.
Demokrasi di Indonesia ini memiliki slogan yang singkat akan tetapi memiliki
makna yang sangat luas, yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dari
slogan tersebut terlihat bahwa demokrasi di Indonesia adalah demokrasi
keterwakilan. Contoh dari demokrasi keterwakilan ini seperti adanya pesta
demokrasi yaitu pemilihan umum.
Selain
sebagai negara demokrasi, Indonesia juga merupakan negara hukum, yang mana
menempatkan hukum pada kedudukan yang paling tinggi. Diantara ciri-ciri
Indonesia sebagai negara hukum ialah adanya pengakuan dan penegakan Hak Asasi
Manusia (HAM) dan juga perlakuan yang sama di hadapan hukum, maka setiap orang
berhak untuk diperlakukan sama, adil, dan tidak pandang bulu.
Di
negara Indonesia, demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) sudah menjadi sebuah
paket yang harus selalu jalan bersamaan. Karena di dalam demokrasi sendiri
terdapat hak-hak setiap orang dalam berpendapat, memilih, dan diperlakukan
adil. Demokrasi tidak akan tercipta dengan tanpa adanya unsur hak asasi manusia
di dalamnya. Hal ini sudah menjadi hal yang lazim bagi setiap negara yang
menganut sistem politik demokrasi. Negara tersebut tidak akan berjalan
kepemerintahannya tanpa adanya andil masyarakat yang tentunya memiliki hak dan
kewajiban.
B. Pembahasan
a.
Hak Asasi Manusia
Saat berbicara tentang sistem
politik demokrasi, hak asasi manusia adalah salah satu yang yang tidak bisa
dilepaskan darinya. Berbicara demokrasi berarti berbicara tentang rakyat, baik
hak-hak dan kewajibannya, serta kebebasan rakyat dalam mengapresiasi hak-hak mereka sebagai warga negara. Secara
umum, yang dimaksud dengan hak asasi manusia (HAM) berdasarkan UU No. 39 tahun
1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa, dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang, demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. Dari pengertian tersebut, dapat dipahami
bahwa hak asasi manusia yang melekat pada diri seseorang tidak boleh dilanggar
oleh siapapun dan harus dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan seluruh
warga negara atau masyarakat.
Setiap manusia berhak
memiliki hak tersebut. Artinya, disamping eksistensi hak tersebut yang melekat
pada diri seseorang, juga terdapat kewajiban yang harus sungguh-sungguh dapat
dimengerti, dipahami, dan bertanggung jawab untuk memeliharanya. Adanya hak
pada seseorang berarti ia mempunyai suatu keistimewaan yang membuka kemungkinan
baginya diperlakukan sesuai dengan keistimewaan yang dimilikinya atau tidak
dilanggar hak-haknya. Juga, adanya suatu kewajiban pada seseorang berarti bahwa
ia diminta daripadanya suatu sikap yang sesuai dengan keistimewaan pada orang
lain.[1]
Hak asasi manusia menjadi
fundamental atau menjadi dasar dari setiap konstitusi hukum yang ada di
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah konstitusi seperti UUD 1945,
konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) 1949, UUDS 1950, kemudaian kembali
kepada UUD 1945[2],
dan juga amandemen UUD 1945. Meski istilah perkataan HAM itu sendiri tidak
dijumpai dalam UUD 1945, baik dalam pembukaan, Batang Tubuh, maupun
penjelasannya, dan juga yang ditemukan hanyalah hak asasi warga negara, namun
dalam proses pembentukan dan penyempurnaan UUD 1945 itu sendiri terdapat nilai
hak asasi manusia. Hal ini berdasarkan peristiwa dalam proses perumusan UUD
1945 yang sangat tergesa-gesa. Waktu yang tersedia dirasakan sangat pendek
apalagi dalam kenyataannya dihadapkan dengan momentum Proklamasi Kemerdekaan
RI. Atas dasar itu, Presiden Soekarno menandaskan bahwa UUD 1945 adalah “UUD
kilat”, yang karenanya harus dilakukan perubahan pada saat Indonesia merdeka.
Dalam hal ini, dengan jelas terlihat bahwa pengaturan HAM berhasil dirumuskan
dalam UUD 1945.[3]
Selain dalam UUD 1945, perihal tentang HAM juga diatur dalam konstitusi RIS
pada bagian 5 dan 6 dalam bab I dengan jumlah 35 pasal[4] dan juga
diatur dalam konstitusi sesudahnya, seperti UUDS 1950, dan pasca kembali kepada
UUD 1945, serta amandemen UUD 1945.
Seperti yang sudah dipaparkan
di awal, bahwasanya negara Indonesia merupakan negara yang menganut sistem
demokrasi dalam menjalankan konstitusinya, oleh karena nya kita patut
mengetahui faktor pendukung tegaknya demokrasi. Salah satu faktor utamanya
adalah civil society atau masyarakat
madani. Masyarakat madani ialah masyarakat dengan ciri-cirinya yang terbuka,
egaliter, bebas dari dominasi, dan tekanan.[5] Masyarakat
madani merupakan elemen yang sangat signifikan dalam membangun demokrasi.
Posisi penting masyarakat madani dalam proses pembangunan demokrasi adalah
adanya partisipasi masyrakat dalam proses-proses pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh negara atau pemerintah. Masyarakat madani mensyaratkan adanya
keterlibatan warga negara melalui asosiasi-asosiasi sosial yang didirikan
secara sukarela. Keterlibatan warga negara memungkinkan tumbuhnya sikap
terbuka, percaya, dan toleran antar individu dan kelompok yang berbeda.
Sikap-sikap ini sangat penting bagi bangunan politik demokrasi.
b.
Keterkaitan antara HAM dan
Konstitusi
Konstitusi merupakan media
bagi terciptanya kehidupan yang demokratis bagi seluruh warga negara. Dengan
kata lain, negara yang memilih demokrasi sebagai sistem ketatanegaraannya, maka
konstitusi merupakan aturan yang dapat menjamin terwujudnya demokrasi di negara
tersebut sehingga melahirkan kekuasaan atau kepemerintahan yang demokratis
pula.
Setiap konstitusi yang
digolongkan sebagai konstitusi demokrtis haruslah memiliki prinsip-prinsip
dasar demokrasi itu sendiri. Secara umum, konstitusi yang dapat dikatakan
demokratis mengandung prinsip-prinsip dasar demokrasi dalam kehidupan
bernegara, yaitu :
1. Menempatkan
warga negara sebagai sumber utama kedaulatan.
2. Adanya
jaminan penghargaan terhadap hak-hak individu warga negara dan penduduk negara,
sehingga dengan demikian entitas kolektif tidak dengan sendirinya menghilangkan
hak-hak dasar orang per orang.
3. Pembatasan
pemerintah.
4. Adanya
jaminan terhadap keutuhan negara nasional dan integritas wilayah.
5. Adanya
jaminan keterlibatan rakyat dalam proses bernegara melalui pemilihan umum yang
bebas.
6. Adanya
jaminan berlakunya hukum dan keadilan melalui proses peradilan yang independen.
7. Pembatasan
dan pemisahan kekuasaan yang meliputi :
a. Pemisahan
wewenang kekuasaan berdasarkan trias
politica.
b. Kontrol
dan keseimbangan lembaga-lembaga pemerintah.[6]
Dari berbagai prinsip dasar tersebut, banyak
terdapat nilai perihal tentang Hak Asasi Manusia (HAM) didalam bernegara dan juga dihadapan hukum.
Jadi, tidaklah dibenarkan mendiskriminasikan seseorang di dalam bernegara,
terlebih di negara Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai demokrasi.
Kita
bercermin pada kejadian atau kasus yang terjadi beberapa waktu yang lalu di
Indonesia, ketika hak seseorang di dalam berkontitusi dilanggar karena faktor
keagamaan. Padahal, setiap warga negara Indonesia berhak mencalonkan diri
sebagai pemimpin atau kepala daerah, tanpa melihat status agama pada diri
seseorang. Hal dapat dilihat pada pasal
13 ayat 1 bagian (a) RUU Pilkada, yang menyebutkan syarat calon kepala daerah
adalah “bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”, tidak menyebutkan beragama
mayoritas.
Dogma-dogma
keagamaan harusnya tidak dijadikan sebagai landasan menghancurkan hak-hak
konstitusi orang lain selama apa yang dilakukan masih sesuai dengan
perundang-undangan. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa agama mayoritas di
Indonesia adalah Islam, akan tetapi harus selalu diingat dan dipahami bahwa
agama di Indonesia bukan hanya Islam, seperti Kristen, Hindu, dan Budha. Semua
pemeluk agama tersebut memiliki hak yang sama atas konstitusi atau hukum, hak
diperlakukan adil dan hak untuk terjaga hak asasi manusianya. Dogma keagamaan
yang ada seharusnya digunakan untuk bisa saling toleransi terhadap kepercayaan
lain, saling menghargai adat dan budaya, sehingga dogma keagamaan yang terdapat
dalam diri seseorang tidak menjadi sumber saling bermusuhan. Penulis yakin
bahwasanya setiap agama mengajarkan agar dapat saling menghargai dan toleransi
terhadap kepercayaan lain, hanya saja subjeknya yang kadang salah dalam
memahami atau bahkan tidak memahami hakikat agama itu sendiri.
C. Penutup
a. Kesimpulan
Konstitusi merupakan hal yang sangat vital bagi sebuah negara, karena
negara berjalan dengan adanya konstitusi. Indonesia sendiri menganut sistem
konstitusi yang demokratis, artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan
konstitusi di negara ini, harus lah melibatkan rakyat di dalamnya.
Demokrasi erat sekali kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Demokrasi
dan HAM adalah satu kesatuan yang tidak mungkin bisa dipisahkan karena keduanya
memiliki keterkaitan yang sangat erat. Setiap warga negara, memiliki hak yang
sama di depan hukum, diperlakukan adil, dan tidak pandang bulu. Dogma-dogma
keagamaan seharusnya tidak digunakan dalam mengambil hak-hak seseorang dalam
bernegara dan berkonstitusi.
b. Saran
Dengan berakhirnya makalah yang kami susun ini, kami menyadari bahwa
masih banyak kekurangan dan kekeliruan baik dalam susunan bahasa maupun isi
materi pada makalah ini. Untuk itu kami mengharapkan kepada pembaca agar dapat
memberikan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan pada makalah ini.
Dan juga kami berharap agar makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah
wawasan keilmuan baik bagi pembaca maupun bagi pemakalah.
[1] Majda
El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam
Konstitusi Indonesia. (Jakarta : Kencana, 2007). Hlm. 47
[2] Periode
kedua berlakunya UUD 1945 berlaku sejak 5 juli 1959 sampai dengan 19 oktober
1999 (ditandai dengan Perubahan I UUD 1945)
[3] Majda
El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam
Konstitusi Indonesia. Op.Cit., hlm. 62
[4] Ibid.,
hlm. 102
[5] A.
Ubaedillah. Civic education ; pancasila,
demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat madani. (jakarta : ICCE UIN
Syarif Hidayatullah, 2013 ) hlm. 79
Comments